Menjadi Sejarawan Indonesia:
Renungan tentang guna
sejarah dalam perspektif pengkajian biografi Pangeran Diponegoro (1785-1855)
(ditulis oleh Dr. Peter Carey, dipublikasi -juga- pada Seminar Guru dan Buku di Hari Pahlawan)
Terlahir
dari orangtua yang lama tinggal di Asia, saya merasa, wilayah ini telah menjadi
sebagian hidup saya. Sejak lahir hingga tujuh tahun pertama (1948-1955), saya
menghabiskan hidup saya di Burma (sekarang Myanmar), dan pengalaman ini sangat
membekas. Selama duduk di bangku sekolah berasrama yang masih sangat tradisional—Winchester
College—pesona Asia Tenggara itu tinggal tetap di hati. Namun, sejarah Asia
Tenggara bukanlah pilihan yang tepat untuk ujian akhir SMA. Hal yang sama juga
terjadi di Oxford.
Meskipun
para pembimbing di Oxford berhasil memupuk kecintaan saya pada sejarah dengan
selalu menekankan pentingnya menggunakan sumber primer, baru setelah meraih
gelar sarjana pada 1969 saya dapat memenuhi keinginan untuk bertekun di bidang
sejarah Asia.
Seperti
semua hal terbaik dalam hidup, sesuatu yang di luar ke hendak kita turut
menentukan keputusan saya mengambil sejarah Asia Tenggara. Pada akhir ujian tertulis
saya, saya menempati peringkat perbatasan antara ranking satu dan dua gelar
BA
Honours. Ini mengharuskan ujian lisan yang pada waktu itu disebut ‘viva’ (viva
voce). Sebagai persiapan, saya menghubungi profesor pakar Revolusi Perancis di
Balliol College, Richard Cobb (1917-1996), untuk meminta pengarahan. Ia memberi
inspirasi yang berharga dengan mengatakan bahwa seorang sejarawan sukses harus
memiliki identitas kedua di negeri dan zaman yang ia teliti: untuk Richard,
negeri dan masa itu adalah Prancis abad kedelapan belas. Kemudian saya meminta
agar ia mempersiapkan saya untuk viva. Tanggapannya, ia mengundang saya
menikmati setengah liter bir bersamanya di halaman Balliol. Sore di bulan Juni
ketika itu sungguh indah, dan siapakah yang sedang berjalan mendekat hendak
bergabung dengan kami? Tak lain tak bukan, dialah ketua Dewan Ujian Sejarah,
Profesor John Andrew (“Jack”) Gallagher (1919-1980), sejarawan ternama untuk
India dan imperium Britania.
“Dan
apa yang akan kau lakukan dengan peringkat Pertama-mu, Bung, seandainya besok
kamu dapat menjawab ujian lisan itu dengan memuaskan?” ia bertanya.
“Oh,
mudah saja!” jawab saya. “Richard telah menjadi pembimbing yang sungguh mengilhami
buat saya, sehingga saya akan berkutat dengan jurusan Prancis dan menulis
sejarah lokal yang terkait dengan Revolusi Prancis,” saya menjelaskan.
“Jangan
begitu!” Gallagher menukas cepat, “itu bidang yang sudah banyak digarap.
Tapi kalau kamu benar-benar tertarik dengan periode itu, kenapa tidak mengkaji
dampak Revolusi Prancis di mancanegara? Kamu bisa meneliti Jawa
selama
pemerintahan satu-satunya marsekal Napoleon yang bukan Prancis— Herman
Willem Daendels (1762-1818; menjabat sebagai gubernur-jenderal, 1808-11).
Pasti tulisan-tulisannya tersimpan entah di mana di Arsip Jajahan di Den Haag
atau
Paris. Coba renungkan itu!”
Sepertinya
sebuah bom sedang meletus, dan saran Gallagher membuat saya berpikir. Saya
mendapat beasiswa ESU (English Speaking Union) untuk melanjutkan kuliah
pascasarjana di Universitas Cornell di AS. Mengapa tidak memanfaatkan
kesempatan
itu untuk menjawab tantangan Jack Gallagher? Segera saya terbang ke
Cornell, menjumpai profesor saya di sana, Ben Anderson (lahir 1936) dan George
McTurnan Kahin (1918-2000), dan menyatakan, Daendels dan Revolusi Prancisnya
yang mengilhami pemerintahan jajahan di Jawa akan menjadi topik penelitian
saya. “Bagus! Tapi, itu bukan bidang keahlian kami di sini,” jawabnya.
“Pertama, belajarlah dahulu bahasa
setempat (Indonesia dan Jawa) di samping bahasa pemerintah jajahan—
Belanda—lalu
beritahu kami apa yang akan kamu kerjakan!”
Mulai
dengan bahasa Belanda, saya pergi ke perpustakaan Cornel yang terkenal, Olin
Library. Di situ saya mengambil karya HJ de Graaf, Geschiedenis van Indonesië (Sejarah Umum Indonesia) (Bandung: Van
Hoeve, 1949), lalu mulai membacanya
sampai
habis. Ketika sampai di bab tentang Perang Jawa (1825-30), mata saya tertumbuk
pada gambar etsa Pangeran Jawa, Diponegoro (1785-1785), pemimpin lima
tahun pertempuran melawan Belanda. Saat itu saya merasa ada semacam
apa
yang disebut orang Jawa “kontak batin”, suatu Eureka. Siapakah gerangan tokoh
misterius penunggang kuda yang berjalan di depan memimpin pasukannya memasuki
suatu pelataran dan dari situ ia ditangkap dan dibuang ke Sulawesi seumur
hidupnya (1830-55) karena suatu tindak khianat? Mungkin, alih-alih memusatkan
perhatian pada Daendels si Eropa itu, saya akan melihat dampak Revolusi Prancis
dan latar belakang penjajahannya dengan mempelajari riwayat hidup dan pemikiran
seseorang yang terkena imbasnya, pangeran Jawa sejati, Diponegoro, yang kini
menjadi salah satu pahlawan nasional terkemuka.
Selanjutnya
adalah sejarah. Empat puluh tahun sudah sejak saya duduk di halaman di Balliol,
dan selama itu seluruh hidup profesional saya tercurah untuk memikirkan dan
menulis tentang Diponegoro. Pada 2007, biografi “magnum opus” saya—Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the
End of an Old Order in Java, 1785-1855—diterbitkan oleh KITLV (Lembaga
Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) di Leiden, dan kedua
cetakan pertama telah terjual habis. Pada 8 Maret 2012 terbit edisi diperluas
dalam bahasa Indonesia: Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia), dan seperti dengan edisi Inggris di Leiden,
cetakan pertama (3500 eks) telah terjual habis. Jawa semasa Diponegoro hidup,
yaitu pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, merupakan gambaran yang tepat
untuk tema suatu zaman yang membawa suatu arus baru bagi dunia menuju ke zaman
modern ini. Masa itu, yang diawali dengan Revolusi Prancis, mengikuti siklus
“Revolusi, Reaksi, dan Reformasi”. Trifase ini sudah ditegaskan dalam karya
filsuf Jerman, GW Hegel, sebagai siklus ‘tesis’, ‘antitesis’, dan ‘sintesis’,
dan harapan atas munculnya seorang pemimpin seperti yang bisa menjiwai zaman:
“Orang
besar pada zamannya adalah orang yang dapat menerjemahkan kehendak zaman itu ke
dalam kata-kata, mengatakan kepada sang zaman apa kehendak zaman itu, dan
mencapainya. Yang dia perbuat adalah degup jantung dan denyut nadi zamannya,
dia mewujudkan zamannya.” (Hegel, Philosophy
of Right, trans. T.M. Knox - London: OUP, 1953, p.295)
Revolusi
yang terjadi selama Diponegoro hidup bukanlah tercipta di Jawa, melainkan diimpor
dari Eropa, yaitu revolusi kembar—industri dan politik—yang merobek rezim lama
baik di Eropa maupun di Asia. Kekuatan ini menyapu habis Jawa seperti gelombang
tsunami dengan kedatangan Daendels pada Januari 1808. Dalam rentang waktu
kurang dari satu dekade (1808-16), selama pemerintahan marsekal pemerintahan
Napoleon itu dan musuh Inggrisnya, Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826;
menjabat, 1811-16), tatanan lama kolonial VOC (1603-1799) dihancurkan
digantikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang baru (1818-1942).
Undang-undang dasar (regeerings-reglement) Januari 1818 menetapkan aturan hukum
baru atau rechtstaat dan penggantian
besar-besaran pemerintahan korup VOC dengan pejabat pemerintahan jajahan yang
baru. Reformasi inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan
paling menguntungkan di dunia. Hanya dalam selang waktu empat puluh tahun
setelah akhir Perang Jawa, Belanda meraup untung sekitar 100 milyar dolar
Amerika dalam kurs sekarang hasil Sistem Tanam Paksa (1830-70). Di bawah sistem
tersebut, tanaman niaga seperti gula, teh, kopi, dan nila dibeli dengan harga
rendah dari petani-petani Jawa dan dijual dengan harga pasar internasional.
Kekuatan untuk mengeruk laba dengan segala cara ini memicu pecahnya Perang
Jawa, di mana kekuatan kembar nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah
panji perang suci Diponegoro. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Jawa,
semua kalangan masyarakat bersatu untuk satu tujuan. Usaha Diponegoro tak
membuahkan hasil, tapi namanya tetap hidup. Baru sembilan puluh dan tahun
setelah kematiannya pada 1855, Indonesia sekali lagi bangkit melawan Belanda
dan setelah empat tahun perang gerilya dalam Agresi Militer (1945-9), mereka
secara formal merebut kedaulatannya dari Belanda pada 1949. Demikianlah gaya
penjajah Revolusi, Reaksi, Reformasi meliputi seluruh kepulauan terbesar di
dunia, yang bila diletakkan di peta Eropa akan membentang dari Lisbon ke Minsk
dan dari Kopenhagen hingga Ankara. Inilah wiracarita Asia, satu bab dalam
sejarah dunia yang hari ini akan mulai Anda
jelajahi.
Selamat
menikmati perjalanan Anda untuk menjadi sejarawan Indonesia!
(hak cipta atas tulisan di atas sepenuhnya ada pada penulis, Dr. Peter Carey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar