Selasa, 13 November 2012

Menjadi Sejarawan Indonesia; Pesan dari Peter Carey


Menjadi Sejarawan Indonesia: 
Renungan tentang guna sejarah dalam perspektif pengkajian biografi Pangeran Diponegoro (1785-1855)

(ditulis oleh Dr. Peter Carey, dipublikasi -juga- pada Seminar Guru dan Buku di Hari Pahlawan) 

Terlahir dari orangtua yang lama tinggal di Asia, saya merasa, wilayah ini telah menjadi sebagian hidup saya. Sejak lahir hingga tujuh tahun pertama (1948-1955), saya menghabiskan hidup saya di Burma (sekarang Myanmar), dan pengalaman ini sangat membekas. Selama duduk di bangku sekolah berasrama yang masih sangat tradisional—Winchester College—pesona Asia Tenggara itu tinggal tetap di hati. Namun, sejarah Asia Tenggara bukanlah pilihan yang tepat untuk ujian akhir SMA. Hal yang sama juga terjadi di Oxford.

Meskipun para pembimbing di Oxford berhasil memupuk kecintaan saya pada sejarah dengan selalu menekankan pentingnya menggunakan sumber primer, baru setelah meraih gelar sarjana pada 1969 saya dapat memenuhi keinginan untuk bertekun di bidang sejarah Asia.

Seperti semua hal terbaik dalam hidup, sesuatu yang di luar ke hendak kita turut menentukan keputusan saya mengambil sejarah Asia Tenggara. Pada akhir ujian tertulis saya, saya menempati peringkat perbatasan antara ranking satu dan dua gelar
BA Honours. Ini mengharuskan ujian lisan yang pada waktu itu disebut ‘viva’ (viva voce). Sebagai persiapan, saya menghubungi profesor pakar Revolusi Perancis di Balliol College, Richard Cobb (1917-1996), untuk meminta pengarahan. Ia memberi inspirasi yang berharga dengan mengatakan bahwa seorang sejarawan sukses harus memiliki identitas kedua di negeri dan zaman yang ia teliti: untuk Richard, negeri dan masa itu adalah Prancis abad kedelapan belas. Kemudian saya meminta agar ia mempersiapkan saya untuk viva. Tanggapannya, ia mengundang saya menikmati setengah liter bir bersamanya di halaman Balliol. Sore di bulan Juni ketika itu sungguh indah, dan siapakah yang sedang berjalan mendekat hendak bergabung dengan kami? Tak lain tak bukan, dialah ketua Dewan Ujian Sejarah, Profesor John Andrew (“Jack”) Gallagher (1919-1980), sejarawan ternama untuk India dan imperium Britania.

“Dan apa yang akan kau lakukan dengan peringkat Pertama-mu, Bung, seandainya besok kamu dapat menjawab ujian lisan itu dengan memuaskan?” ia bertanya.

“Oh, mudah saja!” jawab saya. “Richard telah menjadi pembimbing yang sungguh mengilhami buat saya, sehingga saya akan berkutat dengan jurusan Prancis dan menulis sejarah lokal yang terkait dengan Revolusi Prancis,” saya menjelaskan.

“Jangan begitu!” Gallagher menukas cepat, “itu bidang yang sudah banyak digarap. Tapi kalau kamu benar-benar tertarik dengan periode itu, kenapa tidak mengkaji dampak Revolusi Prancis di mancanegara? Kamu bisa meneliti Jawa
selama pemerintahan satu-satunya marsekal Napoleon yang bukan Prancis— Herman Willem Daendels (1762-1818; menjabat sebagai gubernur-jenderal, 1808-11). Pasti tulisan-tulisannya tersimpan entah di mana di Arsip Jajahan di Den Haag
atau Paris. Coba renungkan itu!”

Sepertinya sebuah bom sedang meletus, dan saran Gallagher membuat saya berpikir. Saya mendapat beasiswa ESU (English Speaking Union) untuk melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Cornell di AS. Mengapa tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menjawab tantangan Jack Gallagher? Segera saya terbang ke Cornell, menjumpai profesor saya di sana, Ben Anderson (lahir 1936) dan George McTurnan Kahin (1918-2000), dan menyatakan, Daendels dan Revolusi Prancisnya yang mengilhami pemerintahan jajahan di Jawa akan menjadi topik penelitian saya. “Bagus! Tapi, itu bukan bidang keahlian kami di sini,” jawabnya. “Pertama, belajarlah dahulu bahasa setempat (Indonesia dan Jawa) di samping bahasa pemerintah jajahan—
Belanda—lalu beritahu kami apa yang akan kamu kerjakan!”

Mulai dengan bahasa Belanda, saya pergi ke perpustakaan Cornel yang terkenal, Olin Library. Di situ saya mengambil karya HJ de Graaf, Geschiedenis van Indonesië (Sejarah Umum Indonesia) (Bandung: Van Hoeve, 1949), lalu mulai membacanya
sampai habis. Ketika sampai di bab tentang Perang Jawa (1825-30), mata saya tertumbuk pada gambar etsa Pangeran Jawa, Diponegoro (1785-1785), pemimpin lima tahun pertempuran melawan Belanda. Saat itu saya merasa ada semacam
apa yang disebut orang Jawa “kontak batin”, suatu Eureka. Siapakah gerangan tokoh misterius penunggang kuda yang berjalan di depan memimpin pasukannya memasuki suatu pelataran dan dari situ ia ditangkap dan dibuang ke Sulawesi seumur hidupnya (1830-55) karena suatu tindak khianat? Mungkin, alih-alih memusatkan perhatian pada Daendels si Eropa itu, saya akan melihat dampak Revolusi Prancis dan latar belakang penjajahannya dengan mempelajari riwayat hidup dan pemikiran seseorang yang terkena imbasnya, pangeran Jawa sejati, Diponegoro, yang kini menjadi salah satu pahlawan nasional terkemuka.

Selanjutnya adalah sejarah. Empat puluh tahun sudah sejak saya duduk di halaman di Balliol, dan selama itu seluruh hidup profesional saya tercurah untuk memikirkan dan menulis tentang Diponegoro. Pada 2007, biografi “magnum opus” saya—Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855—diterbitkan oleh KITLV (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) di Leiden, dan kedua cetakan pertama telah terjual habis. Pada 8 Maret 2012 terbit edisi diperluas dalam bahasa Indonesia: Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), dan seperti dengan edisi Inggris di Leiden, cetakan pertama (3500 eks) telah terjual habis. Jawa semasa Diponegoro hidup, yaitu pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, merupakan gambaran yang tepat untuk tema suatu zaman yang membawa suatu arus baru bagi dunia menuju ke zaman modern ini. Masa itu, yang diawali dengan Revolusi Prancis, mengikuti siklus “Revolusi, Reaksi, dan Reformasi”. Trifase ini sudah ditegaskan dalam karya filsuf Jerman, GW Hegel, sebagai siklus ‘tesis’, ‘antitesis’, dan ‘sintesis’, dan harapan atas munculnya seorang pemimpin seperti yang bisa menjiwai zaman:
“Orang besar pada zamannya adalah orang yang dapat menerjemahkan kehendak zaman itu ke dalam kata-kata, mengatakan kepada sang zaman apa kehendak zaman itu, dan mencapainya. Yang dia perbuat adalah degup jantung dan denyut nadi zamannya, dia mewujudkan zamannya.” (Hegel, Philosophy of Right, trans. T.M. Knox - London: OUP, 1953, p.295)

Revolusi yang terjadi selama Diponegoro hidup bukanlah tercipta di Jawa, melainkan diimpor dari Eropa, yaitu revolusi kembar—industri dan politik—yang merobek rezim lama baik di Eropa maupun di Asia. Kekuatan ini menyapu habis Jawa seperti gelombang tsunami dengan kedatangan Daendels pada Januari 1808. Dalam rentang waktu kurang dari satu dekade (1808-16), selama pemerintahan marsekal pemerintahan Napoleon itu dan musuh Inggrisnya, Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826; menjabat, 1811-16), tatanan lama kolonial VOC (1603-1799) dihancurkan digantikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang baru (1818-1942). Undang-undang dasar (regeerings-reglement) Januari 1818 menetapkan aturan hukum baru atau rechtstaat dan penggantian besar-besaran pemerintahan korup VOC dengan pejabat pemerintahan jajahan yang baru. Reformasi inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan paling menguntungkan di dunia. Hanya dalam selang waktu empat puluh tahun setelah akhir Perang Jawa, Belanda meraup untung sekitar 100 milyar dolar Amerika dalam kurs sekarang hasil Sistem Tanam Paksa (1830-70). Di bawah sistem tersebut, tanaman niaga seperti gula, teh, kopi, dan nila dibeli dengan harga rendah dari petani-petani Jawa dan dijual dengan harga pasar internasional. Kekuatan untuk mengeruk laba dengan segala cara ini memicu pecahnya Perang Jawa, di mana kekuatan kembar nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah panji perang suci Diponegoro. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Jawa, semua kalangan masyarakat bersatu untuk satu tujuan. Usaha Diponegoro tak membuahkan hasil, tapi namanya tetap hidup. Baru sembilan puluh dan tahun setelah kematiannya pada 1855, Indonesia sekali lagi bangkit melawan Belanda dan setelah empat tahun perang gerilya dalam Agresi Militer (1945-9), mereka secara formal merebut kedaulatannya dari Belanda pada 1949. Demikianlah gaya penjajah Revolusi, Reaksi, Reformasi meliputi seluruh kepulauan terbesar di dunia, yang bila diletakkan di peta Eropa akan membentang dari Lisbon ke Minsk dan dari Kopenhagen hingga Ankara. Inilah wiracarita Asia, satu bab dalam sejarah dunia yang hari ini akan mulai Anda jelajahi.

Selamat menikmati perjalanan Anda untuk menjadi sejarawan Indonesia!

(hak cipta atas tulisan di atas sepenuhnya ada pada penulis, Dr. Peter Carey)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar