Jumat, 16 November 2012

Sampai Jumpa Lagi ... Untuk Para Pemerhati Sejarah dan Budaya

Salam hormat untuk Anda semua.

Terimakasih sudah mengunjungi blog ini. 
Semoga ada manfaat yang diperoleh disini.

Materi slide presentasi dari Prof. Peter Carey,
sebagian besar dapat dibaca disini ...
maaf kami tidak dapat sediakan file aslinya
(sehubungan dengan masalah teknis).
Bagi anda yang sungguh memerlukan informasi tertentu, 
silakan menghubungi Prof. Peter Carey (via email)

Untuk kekurangan kami dalam menyelenggarakan 
acara Guru dan Buku di Hari Pahlawan pada 
10 November 2012 lalu, harap sudi memaafkan.

Sekian. Sampai jumpa lagi di acara berikut.

(Bogor, November 2012, Petisi Raden Saleh 2005 beserta
Yayasan Satya Citra Indonesia)

Email kontak :
bukugurubogor@gmail.com
khazanah@hotmail.com

Bagian 3 (Habis) : Slide dan Gambar Presentasi Prof Peter Carey di Hari Pahlawan 10-11-12




Keterangan Gambar (dari awal)
1. Diponegoro yang geram memukul patih Kasultanan dengan selop.
2. Diponegoro sebagai mistikus Islam-Jawa sedang belajar
3. Rumah Residen di Magelang, tempat Diponegoro menemui Jenderal De Kock, yang berujung penangkapannya pada 1830.
4. Catatan Diponegoro dan stempel resminya.

Bagian 2 : Slide dan Gambar Presentasi Prof Peter Carey di Hari Pahlawan 10-11-12








Bagian 1 : Slide dan Gambar Presentasi Prof Peter Carey di Hari Pahlawan 10-11-12






Selasa, 13 November 2012

Menjadi Sejarawan Indonesia; Pesan dari Peter Carey


Menjadi Sejarawan Indonesia: 
Renungan tentang guna sejarah dalam perspektif pengkajian biografi Pangeran Diponegoro (1785-1855)

(ditulis oleh Dr. Peter Carey, dipublikasi -juga- pada Seminar Guru dan Buku di Hari Pahlawan) 

Terlahir dari orangtua yang lama tinggal di Asia, saya merasa, wilayah ini telah menjadi sebagian hidup saya. Sejak lahir hingga tujuh tahun pertama (1948-1955), saya menghabiskan hidup saya di Burma (sekarang Myanmar), dan pengalaman ini sangat membekas. Selama duduk di bangku sekolah berasrama yang masih sangat tradisional—Winchester College—pesona Asia Tenggara itu tinggal tetap di hati. Namun, sejarah Asia Tenggara bukanlah pilihan yang tepat untuk ujian akhir SMA. Hal yang sama juga terjadi di Oxford.

Meskipun para pembimbing di Oxford berhasil memupuk kecintaan saya pada sejarah dengan selalu menekankan pentingnya menggunakan sumber primer, baru setelah meraih gelar sarjana pada 1969 saya dapat memenuhi keinginan untuk bertekun di bidang sejarah Asia.

Seperti semua hal terbaik dalam hidup, sesuatu yang di luar ke hendak kita turut menentukan keputusan saya mengambil sejarah Asia Tenggara. Pada akhir ujian tertulis saya, saya menempati peringkat perbatasan antara ranking satu dan dua gelar
BA Honours. Ini mengharuskan ujian lisan yang pada waktu itu disebut ‘viva’ (viva voce). Sebagai persiapan, saya menghubungi profesor pakar Revolusi Perancis di Balliol College, Richard Cobb (1917-1996), untuk meminta pengarahan. Ia memberi inspirasi yang berharga dengan mengatakan bahwa seorang sejarawan sukses harus memiliki identitas kedua di negeri dan zaman yang ia teliti: untuk Richard, negeri dan masa itu adalah Prancis abad kedelapan belas. Kemudian saya meminta agar ia mempersiapkan saya untuk viva. Tanggapannya, ia mengundang saya menikmati setengah liter bir bersamanya di halaman Balliol. Sore di bulan Juni ketika itu sungguh indah, dan siapakah yang sedang berjalan mendekat hendak bergabung dengan kami? Tak lain tak bukan, dialah ketua Dewan Ujian Sejarah, Profesor John Andrew (“Jack”) Gallagher (1919-1980), sejarawan ternama untuk India dan imperium Britania.

“Dan apa yang akan kau lakukan dengan peringkat Pertama-mu, Bung, seandainya besok kamu dapat menjawab ujian lisan itu dengan memuaskan?” ia bertanya.

“Oh, mudah saja!” jawab saya. “Richard telah menjadi pembimbing yang sungguh mengilhami buat saya, sehingga saya akan berkutat dengan jurusan Prancis dan menulis sejarah lokal yang terkait dengan Revolusi Prancis,” saya menjelaskan.

“Jangan begitu!” Gallagher menukas cepat, “itu bidang yang sudah banyak digarap. Tapi kalau kamu benar-benar tertarik dengan periode itu, kenapa tidak mengkaji dampak Revolusi Prancis di mancanegara? Kamu bisa meneliti Jawa
selama pemerintahan satu-satunya marsekal Napoleon yang bukan Prancis— Herman Willem Daendels (1762-1818; menjabat sebagai gubernur-jenderal, 1808-11). Pasti tulisan-tulisannya tersimpan entah di mana di Arsip Jajahan di Den Haag
atau Paris. Coba renungkan itu!”

Sepertinya sebuah bom sedang meletus, dan saran Gallagher membuat saya berpikir. Saya mendapat beasiswa ESU (English Speaking Union) untuk melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Cornell di AS. Mengapa tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menjawab tantangan Jack Gallagher? Segera saya terbang ke Cornell, menjumpai profesor saya di sana, Ben Anderson (lahir 1936) dan George McTurnan Kahin (1918-2000), dan menyatakan, Daendels dan Revolusi Prancisnya yang mengilhami pemerintahan jajahan di Jawa akan menjadi topik penelitian saya. “Bagus! Tapi, itu bukan bidang keahlian kami di sini,” jawabnya. “Pertama, belajarlah dahulu bahasa setempat (Indonesia dan Jawa) di samping bahasa pemerintah jajahan—
Belanda—lalu beritahu kami apa yang akan kamu kerjakan!”

Mulai dengan bahasa Belanda, saya pergi ke perpustakaan Cornel yang terkenal, Olin Library. Di situ saya mengambil karya HJ de Graaf, Geschiedenis van Indonesië (Sejarah Umum Indonesia) (Bandung: Van Hoeve, 1949), lalu mulai membacanya
sampai habis. Ketika sampai di bab tentang Perang Jawa (1825-30), mata saya tertumbuk pada gambar etsa Pangeran Jawa, Diponegoro (1785-1785), pemimpin lima tahun pertempuran melawan Belanda. Saat itu saya merasa ada semacam
apa yang disebut orang Jawa “kontak batin”, suatu Eureka. Siapakah gerangan tokoh misterius penunggang kuda yang berjalan di depan memimpin pasukannya memasuki suatu pelataran dan dari situ ia ditangkap dan dibuang ke Sulawesi seumur hidupnya (1830-55) karena suatu tindak khianat? Mungkin, alih-alih memusatkan perhatian pada Daendels si Eropa itu, saya akan melihat dampak Revolusi Prancis dan latar belakang penjajahannya dengan mempelajari riwayat hidup dan pemikiran seseorang yang terkena imbasnya, pangeran Jawa sejati, Diponegoro, yang kini menjadi salah satu pahlawan nasional terkemuka.

Selanjutnya adalah sejarah. Empat puluh tahun sudah sejak saya duduk di halaman di Balliol, dan selama itu seluruh hidup profesional saya tercurah untuk memikirkan dan menulis tentang Diponegoro. Pada 2007, biografi “magnum opus” saya—Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855—diterbitkan oleh KITLV (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) di Leiden, dan kedua cetakan pertama telah terjual habis. Pada 8 Maret 2012 terbit edisi diperluas dalam bahasa Indonesia: Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), dan seperti dengan edisi Inggris di Leiden, cetakan pertama (3500 eks) telah terjual habis. Jawa semasa Diponegoro hidup, yaitu pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, merupakan gambaran yang tepat untuk tema suatu zaman yang membawa suatu arus baru bagi dunia menuju ke zaman modern ini. Masa itu, yang diawali dengan Revolusi Prancis, mengikuti siklus “Revolusi, Reaksi, dan Reformasi”. Trifase ini sudah ditegaskan dalam karya filsuf Jerman, GW Hegel, sebagai siklus ‘tesis’, ‘antitesis’, dan ‘sintesis’, dan harapan atas munculnya seorang pemimpin seperti yang bisa menjiwai zaman:
“Orang besar pada zamannya adalah orang yang dapat menerjemahkan kehendak zaman itu ke dalam kata-kata, mengatakan kepada sang zaman apa kehendak zaman itu, dan mencapainya. Yang dia perbuat adalah degup jantung dan denyut nadi zamannya, dia mewujudkan zamannya.” (Hegel, Philosophy of Right, trans. T.M. Knox - London: OUP, 1953, p.295)

Revolusi yang terjadi selama Diponegoro hidup bukanlah tercipta di Jawa, melainkan diimpor dari Eropa, yaitu revolusi kembar—industri dan politik—yang merobek rezim lama baik di Eropa maupun di Asia. Kekuatan ini menyapu habis Jawa seperti gelombang tsunami dengan kedatangan Daendels pada Januari 1808. Dalam rentang waktu kurang dari satu dekade (1808-16), selama pemerintahan marsekal pemerintahan Napoleon itu dan musuh Inggrisnya, Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826; menjabat, 1811-16), tatanan lama kolonial VOC (1603-1799) dihancurkan digantikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang baru (1818-1942). Undang-undang dasar (regeerings-reglement) Januari 1818 menetapkan aturan hukum baru atau rechtstaat dan penggantian besar-besaran pemerintahan korup VOC dengan pejabat pemerintahan jajahan yang baru. Reformasi inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan paling menguntungkan di dunia. Hanya dalam selang waktu empat puluh tahun setelah akhir Perang Jawa, Belanda meraup untung sekitar 100 milyar dolar Amerika dalam kurs sekarang hasil Sistem Tanam Paksa (1830-70). Di bawah sistem tersebut, tanaman niaga seperti gula, teh, kopi, dan nila dibeli dengan harga rendah dari petani-petani Jawa dan dijual dengan harga pasar internasional. Kekuatan untuk mengeruk laba dengan segala cara ini memicu pecahnya Perang Jawa, di mana kekuatan kembar nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah panji perang suci Diponegoro. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Jawa, semua kalangan masyarakat bersatu untuk satu tujuan. Usaha Diponegoro tak membuahkan hasil, tapi namanya tetap hidup. Baru sembilan puluh dan tahun setelah kematiannya pada 1855, Indonesia sekali lagi bangkit melawan Belanda dan setelah empat tahun perang gerilya dalam Agresi Militer (1945-9), mereka secara formal merebut kedaulatannya dari Belanda pada 1949. Demikianlah gaya penjajah Revolusi, Reaksi, Reformasi meliputi seluruh kepulauan terbesar di dunia, yang bila diletakkan di peta Eropa akan membentang dari Lisbon ke Minsk dan dari Kopenhagen hingga Ankara. Inilah wiracarita Asia, satu bab dalam sejarah dunia yang hari ini akan mulai Anda jelajahi.

Selamat menikmati perjalanan Anda untuk menjadi sejarawan Indonesia!

(hak cipta atas tulisan di atas sepenuhnya ada pada penulis, Dr. Peter Carey)

Senin, 12 November 2012

Cerita Diponegoro di Bogor pada 10-11-12

BEBERAPA TULISAN DAN LIPUTAN 

1. BOGOR PLUS
-peringati-hari-pahlawan-yayasan-satya-citra-indonesia-gelar-seminar-sejarah-kepahlawanan.html

2. KPSHK.Org / Tanam Paksa dan Pangeran Diponegoro By: inal

3. Revolusi Diponegoro Adopsi Eropa; Donni A (KTR) - Jurnal Bogor 12/11/12
    (bila berminat, silakan kontak langsung ke redaksi@jurnalbogor.co.id)

Penangkapan Diponegoro;
Raden Saleh, 1857, Koleksi Istana Kepresidenan RI.

Gambar-gambar Seminar Guru dan Buku di Hari Pahlawan




Peter Carey and His Intellectual Works





PETER CAREY


PERSONAL

Peter was born in Rangoon, Burma on 30 April 1948, the second son of parents who had both made their lives in Asia. He returned to England in 1955 and was educated in the UK. He matriculated at Trinity College, Oxford (the first member of his family ever to go to Oxford) in 1966 and graduated with First Class Honours in Modern History in 1969. After graduating, he was awarded an English Speaking Union (ESU) scholarship and spent a year on a taught MA course in Southeast Asian Studies at Cornell University in the United States where he first became interested in Southeast Asia (Indonesia in particular).

PROFESSIONAL EXPERIENCE (OXFAM and CAMBODIA TRUST)

Peter served as a member of the OXFAM Asia Committee from 1986 to 1991 and during that time co-founded the Cambodia Trust (CT) (7 November 1989), a UK disability charity which is now a world leader in the provision of international-quality training in prosthetics & orthotics. He was a member of the Cambodia Trust’s board of trustees from December 1989 to August 2008, serving as chair (1990-1996) and deputy chair (2004-8). He resigned from the board in August 2008 to take up the post of Country Director in Indonesia (August 2008-March 2011). During this time, he was involved with the establishment of CT in Cambodia in 1990-92, and visited Cambodia every year from 1989 to 1997, the year of CT’s first graduation at the Cambodian School of Prosthetics & Orthotics. He also pioneered CT’s presence in Timor-Leste, carrying out a number of preparatory visits to the country in 2000 and acting as CT Country Director from October 2003 to September 2004, during which time he established ASSERT (Association for the Raising Up of the Disabled of Timor) and the National Centre for Physical Rehabilitation in Becora (Dili). Peter was awarded the Independence Medal by the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste and made a Grand Officer in the Order of Prince Henry the Navigator (Ordem Infante Dom Henrique), the highest civilian honour accorded to non-Portuguese citizens, by the Portuguese Government for his work in Timor-Leste. In November 2008, he was given the Beacon Prize for Leadership (citation: ‘[for] making an exceptional contribution in co-founding the Cambodia Trust and leading its expansion across Cambodia into Timor-Leste, Sri Lanka and Indonesia’) by the Beacon Fellowship Charitable Trust (London), an award sometimes described as the Nobel Prize for charity work. On 12 June 2010 he was awarded the MBE (Membership of the Honourable Order of the British Empire) for services to the disabled in Southeast Asia, and on 21 June 2011, he received the BNP-Paribas special or prix du jury award for Individual Philanthropy with prize money worth €50,000 for the Cambodia Trust. The awarding jury asked this to be allocated to support research into levels of disability in Indonesian society and the planning for the second phase of the Trust’s Indonesia programme with the Ministry of Health.

...

Before his early retirement, Peter was Laithwaite Fellow and Tutor in Modern History at Trinity College, Oxford (1979-2008), specialising in the modern history and politics of Indonesia, Burma and East Timor. Amongst his publications were:


Indonesia The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV  Press, 2007, 2nd edition, 2008), a full-length biography of Indonesia’s national hero, Prince Diponegoro (1785-1855), an Indonesian translation of which was published by Kepustakaan Populer Gramedia [KPG] in Jakarta on 20 February 2012 under the title: Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. He also edited The British in Java, 1811-1816. A Javanese Account (OUP for the British Academy, 1992); The Archive of Yogyakarta: Volume I: Documents relating to Politics and Internal Court Affairs; Volume II: Documents relating to Economic and Agrarian Affairs (London: OUP for the British Academy, 1980 and 2000); and Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java War (1825-30) (Kuala Lumpur: Art Printers for the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1981). His most recent article on this period is: ‘Revolutionary Europe and the destruction of Java’s Old Order, 1808-1830’, in David Armitage and Sanjay Subhramanyan (eds), “The Age of Revolutions” or “World Crisis”: Global Causation, Connection and Comparison, c. 1760-1840 (Houndmills: Macmillan, 2009).

Indonesian Pre-Colonial History and Archaeology: (with Amrit Gomperts and Arnoud Haag) ‘Stutterheim’s Enigma; The mystery of his mapping of the Majapahit kraton at Trowulan in 1941’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Leiden), 164, 4:411-30; ‘Mapping Majapahit: Wardenaar’s Archaeological Survey at Trowulan in 1815’, Indonesia (Cornell University, Ithaca) no.93 (April 2012); and ‘The Sage who Divided Java in 1052:Maclaine Pont’s Excavation of Mpu Bharada’s Hermitage-Cemetery at Lĕmah Tulis in 1925’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Leiden) 168, 1 (forthcoming June 2012).

East Timor  (with G. Carter Bentley), East Timor at the Crossroads: The Forging of a Nation (London: Cassell, 1995); (with Steve Cox), Generations of Resistance: East Timor (London: Cassell, 1995); East Timor: Third World Colonialism and the Struggle for National Identity (Coventry: Research Institute for the Study of Conflict and Terrorism, 1996); ‘The Security Council and East Timor’, in Vaughan Lowe, Adam Roberts, Jennifer Walsh and Dominik Zaum (eds), The Security Council and War  (Oxford: OUP, 2008)

BurmaBurma. The Challenge of Change in a Divided Society (Basingstoke: Macmillan, 1997) and From Burma to Myanmar: Military Rule and the Struggle for Democracy (Coventry: Research Institute for the Study of Conflict and Terrorism, 1997.

...

LINGUISTIC ABILITY
                             Indonesian/Malay - fluent
                             French - fluent
                             Javanese – fluent
                             Dutch - reading knowledge (fluent)
                             Portuguese - reading knowledge (good)
                            
Peter can be contacted at:
Email: petercarey@cambodiatrust.org.uk; Skype: peterc1948


Buku KUASA RAMALAN ... Karya PETER CAREY


Apresiasi Dr. Peter Carey terhadap Penyelenggaraan Seminar 10-11-12


------ SMS ------
To: +62856xxx
To: +62898xxx

Mas..., thanks so much for all your excellent arrangements with Kang Ace, Pak Suradal (trah RM Joned) dan Walikota Bogor to make such a good and worthwhile event on Saturday last. Deeply appreciated. ... Thanks again for all yr hard and much appreciated work. It was very well worthwhile. Best. Peter
Sent from my BlackBerry® smartphone ...

Tujuan Blog Ini ... Melayani Pengetahuan Publik

DOKUMENTASI FILE, TEKS DAN GAMBAR.
TERKAIT SEMINAR BUKU & GURU YANG KAMI ADAKAN DI BOGOR.

SEMOGA BERMANFAAT.
MAAF BILA ADA KEKURANGAN ATAU ANDA BELUM MENDAPATKAN
MATERI YANG DICARI.

SALAM